Dataran Tinggi Dieng

Dataran Tinggi Dieng
PUNCAK SIKUNIR, DATARAN TINGGI DIENG

Kamis, 02 Juni 2022

MELAWAN TAKDIR | PART 1


Novel Inspiratif

Bab 1 




Dari kejauhan tampak seorang gadis kecil berseragam putih merah sedang asyik berlarian bersama teman-temannya di halaman sekolah dasar sebuah daerah pinggiran kota besar. Gadis mungil dengan rambut diikat ekor kuda itu tertawa bahagia, sesekali ia menjerit ketika tangannya dapat disentuh oleh temannya yang lain. Mereka sedang bermain gobak sodor, permainan tradisional yang sering dimainkan oleh anak-anak. 

“Lea, kamu jaga di sini!” teriak temannya agar gadis kecil itu segera berdiri di garis yang ia tunjuk.

Gadis kecil itu pun berlari mendekati temannya, lalu berdiri di sana sebagai penjaga garis. Matanya sesekali melirik ke arah pagartepatnya pada seorang perempuan penjaja makanan. 

Aralea Agatha nama gadis kecil itu atau biasa dipanggil Lea. Ia seorang juara kelas meskipun dari keluarga yang sangat sederhana. Ayah Lea mempunyai darah bangsawan yang dikaruniai otak cemerlang. Tak heran, Lea mewarisi kepandaian sang ayah. Tidak hanya itu, ayah Leayang bekerja sebagai teknisi dan bertanggung jawab pada mesin berat itu menginspirasi Lea untuk menjadi seorang insinyur, cita-cita yang dipupuknya sejak kecil. Sementara itu, bundanya menambah pemasukan keuangan dengan menjual makanan. Bunda yang selalu menemani Lea ke sekolah sambil membawa makanan untuk dijajakan. Lea tentu senang karena sang bunda berada di dekatnya sepanjang hari. Akan tetapi, di sisi lain pikirannya terbelah: membantu Bunda atau bermain bersama teman-temannya.
 
Hari sudah siang, sekolah pun sepi, semua siswa SD Negeri 158 itu sedang belajar di dalam kelas. Tidak lama berselang, bel sekolah berbunyi, pertanda jam delajar sudah usai. Anak-anak berlarian ke luar kelas untuk segera pulang.
Lea berlari menghampiri Bunda yang sedang membereskan barang dagangan di luar pagar sekolah. Setiap hari Bunda berjualan di luar halaman sekolah itu untuk membantu perekonomian keluarganya.

"Bun, dagangannya habis?" Lea membantu Bunda memasukkan mangkuk-mangkuk kecil ke dalam tenong.

"Ini masih ada, sengaja Bunda siapkan untuk Lea," jawab Bunda dengan seulas senyum di bibirnya. 

Bunda menyodorkan semangkuk celimpungan ke hadapan Lea. Lea langsung menyantap makanan tradisional dagangan Bunda itu.

"Bagaimana tadi belajarnya?" tanya Bunda sambil mencuci mangkuk bekas makanannya.

"Bun, tadi Edi nggak hafal perkalian satu sampai sepuluh, terus nangis. Laki-laki, kan, nggak boleh nangis, cerita Lea berapi-api.

"Anak laki-laki, enggak boleh cengeng, ya, Bun?" Lea menatap Bunda yang mulai berkeringat dengan wajah bertanya-tanya.

"Siapa bilang anak laki-laki tidak boleh menangis? Boleh, kok. Yaa, asal jangan kelamaan, jelas Bunda. 


Di sepanjang perjalanan, Lea terus bercerita. Bunda mendengarkan dengan saksama walau agak kerepotan dengan tangan kanannya yang membawa bakul bundar berisi mangkuk-mangkuk dan barang lainnya, sedangkan tangan kirinya menggandeng Lea. 

Sesampainya di jalan raya, Bunda memperhatikan kondisi jalanan di kiri dan kanan. Setelah jalanan sepi, ia menggandeng Lea untuk menyeberang. Mereka pun berjalan masuk ke sebuah gang sempit menuju ke rumahnya.

Sesampai di rumah, Lea langsung mengganti seragam sekolahnya dengan pakaian biasa. 

"Bun, Ayah nanti pulang jam berapa?" tanya Lea sambil memperhatikan Bunda yang sedang berwudu.
"Ayah pulangnya bulan depan, jawab Bunda. 

Lia hanya tercenung. Ada banyak hal yang ingin ia ceritakan pada ayahnya. Namun, harus ia pendam hingga sebulan kemudian. Sebenarnya, Lia ingin seperti teman-temannya yang setiap hari berkumpul dengan ayah dan ibunya. Namun, apa boleh buat, pekerjaan ayahnya di luar kota. 

"Ayo segera berwudu, kita salat Zuhur berjamaah!" ajak Bunda memutus lamunan Lea.

Lea menyantap makanan dengan lahap. Wajahnya terlihat segar setelah salat Zuhur. Makanan yang disantapnya hanya makanan sederhana, tetapi nikmatnya luar biasa. Memang benar, makanan terasa lebih lezat disantap ketika lapar. 

"Lea, kita main, yuk!" 
Lea melongok ke arah pintu depan. Dilihatnya Tuti sudah berdiri di depan pintu. Pandangan Lea beralih pada Bunda. 

"Bun, aku boleh main bersama Tuti?" tanya Lea dengan menatap Bunda penuh harap. 
Bunda tersenyum melihat Lea yang gelisah karena Tuti terus memanggilnya. Sambil membereskan piring Bunda berpesan, Boleh, tapi jangan jauh-jauh!

Lea bersorak gembira. Sementara itu, Bunda menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Lea. Dengan tergesa Lea mencium tangan Bunda, lalu menemui Tuti yang menunggu di luar. 
Tuti mengajak Lea menemui teman-teman yang lain. Mereka berjalan sambil berceloteh riang. 

"Kita main ke sungai, yuk!" ajak Yadi, teman Tuti, sambil melambai pada teman-temannya yang lain. 

Beberapa bocah kecil itu berjalan menyusuri jalan raya menuju ke sebuah anak Sungai Musi, sungai terpanjang di Indonesia. Letaknya lumayan jauh dari rumah Lea.
Akhirnya, mereka sampai di sungai yang terdapat banyak rumah rakit berderet di sepanjang pesisir sungai. Tidak jauh dari sana terlihat sebuah jembatan berdiri megah. Di antara rumah-rumah rakit itu Tuti dan temannya yang lain terjun ke sungai, lalu berenang. Sementara itu, Lea hanya memandangi mereka dari teras pos kamling di tepian sungai.  

"Lea, ayo ke sini!" ajak Tuti.
"Aku tidak bisa berenang." Lea melambaikan tangannya. 
"Pakai bambu ini, nanti Lea bisa mengapung, tukas Tuti. 

Tuti menyodorkan sebuah bambu besar yang mengapung di dekatnya. Lea pun tergoda untuk ikut berenang. Ia terjun menghampiri bambu tersebut. Hanya saja, bambu itu tidak mampu menahan beban berat badan Lea. Lea masuk ke dalam air. Ia berusaha menggapai dan berusaha berteriak, tetapi justru air yang makin banyak masuk ke mulutnya. 

"Lea!" teriak Tuti. 
Tuti berenang mendekat, membantu menarik tangan Lea. Namun, tenaganya tidak cukup kuat. Tuti terseret air, tetapi ia masih bisa muncul ke permukaan karena bisa berenang. 

"Tolong!" teriak Tuti.

Teriakan Tuti tidak begitu terdengar jelas karena napasnya tersengal. Beberapa teman berlari mendekat. Mereka ikut berteriak karena panik. 

Tolong! 
Lea!
Tuti!

Suara riuh dari teman-teman Lea begitu melihat tubuh-tubuh kecil itu timbul tenggelam dalam air. Wajah mereka seketika pucat ketika tubuh Lea tak juga kelihatan. Dengan panik, sebagian bocah-bocah itu berlarian ke sekitar rumah penduduk. Sementara itu, yang lain tetap di sekitar sungai sambil tak berhenti berteriak. 
"Tolong!" Salah satu teman Lea menunjuk ke arah sungai begitu seorang lelaki muda datang. Tanpa banyak bertanya, lelaki muda itu berlari langsung dan terjun ke sungai menolong Lea yang tenggelam. Sementara itu, Tuti berhasil ditarik seorang warga yang datang kemudian.

Lelaki muda itu menggendong dan membaringkan Lea di bale pos kamling. Dengan cekatan ia mengangkat kaki Lea sejajar dengan tubuhnya. Sesaat kemudian, Lea terbatuk dan mengeluarkan air dari mulutnya. 
Lea mengerjapkan mata. Ya, ia mulai mengingat apa yang terjadi pada dirinya. Matanya mulai berkaca-kaca saat seorang lelaki muda menyodorkan segelas teh padanya. Tubuhnya bergetar saat mulai mencecap manis dan hangatnya teh itu. Teh itu mengingatkan Lea pada sosok Bunda. Ya, Bunda yang telah mengingatkannya agar tidak main terlalu jauh.

Lea berjalan tertatih-tatih dengan baju yang basah kuyup. Ia menahan dingin yang seakan-akan menembus tulangnya. Langkahnya terhenti di depan rumah. Keraguan menyelinap di hati gadis kecil itu. Ia berjalan perlahan. 

"Lea, kenapa bajunya basah?" Suara Bunda membuat Lea kaget. Ia perempuan di hadapannya dengan sedikit takut. Apakah Bunda akan marah?

"Bun, tadi aku main di sungai, ujar Lea dengan suara lirih, menahan tangis. A-a-aku hampir tenggelam.
"Apa? " Mata Bunda membulat. 
Wanita itu melihat putrinya yang menggigil dengan mata berkaca-kaca. Ingin sekali Bunda marah, tetapi melihat putrinya selamat, kemarahan itu lenyap. 

"Lea." Bunda mendekat dan memeluk Lea. Seketika pecah tangis Lea yang sudah tertahan sejak tadi. Gadis kecil itu berkutat dengan rasa takut sekaligus menyesal karena melanggar janjinya. 

"Maafin Lea, Bun.”
Bunda menepuk punggung Lea. Kemudian, di tatapnya Lea sambil memegang bahu bocah itu.

"Lea, Bunda khawatir sekali. Bunda maafin, tapi Lea janji harus nurut sama Bunda, ya?"
Bunda mengembuskan napas pelan ketika melihat Lea mengangguk. Betapa tidak mudah bagi Bunda untuk membagi waktu: membereskan pekerjaan rumah tangga dan memperhatikan keempat anaknya. Apalagi, ia juga harus menyiapkan makanan untuk dijual. Sementara itu, ayah Lea bekerja di luar kota. Entahlah, Bunda hanya berharap semua baik-baik saja. 

Channel Education

POSTING BEFORE